Kamis, 07 Januari 2010

Skandal Bank Century

Jakarta (SIB)
Pansus Hak Angket Kasus Bank Century harus mewaspadai skenario yang dirancang oleh pejabat Bank Indonesia (BI) untuk menyelamatkan pihak-pihak tertentu.
Panitia Khusus Hak Angket Kasus Bank Century menengarai adanya skenario yang sengaja dibuat oleh petinggi Bank Indonesia untuk memusatkan tanggung jawab kesalahan skandal Bank Century pada orang tertentu.
“Hal ini akan menjadi salah satu poin yang akan terus dialami Pansus sebelum mengeluarkan kesimpulan. Apa yang terjadi memperjelas persoalan ini. Artinya, masing-masing pimpinan BI itu tidak bisa mengukur di mana mereka bertanggungjawab,” ujar Wakil Ketua Pansus Gayus Lumbuun di sela-sela rapat pemeriksaan terhadap tiga petinggi BI di Jakarta, Rabu (6/1).
Kemarin, Pansus memeriksa tiga mantan pejabat tinggi BI secara bersamaan. Mereka adalah mantan Deputi Gubernur BI Maman Sumantri, Maulana Ibrahim, serta mantan Direktur Pengawasan Bank I BI. Ketiganya diperiksa terkait proses merger Bank Danpac, Bank Pikko, dan Bank CIC menjadi Bank Century.
Indikasi adanya pelemparan tanggung jawab pada pemeriksaan kemarin tampak antara lain ketika Maman yang pernah menjabat sebagai salah satu dewan gubernur pada 2002 mengaku tidak mengetahui secara detail proses merger. Dia mengatakan Sabar Anton Tarihoran yang kala itu menjabat sebagai direktur pengawasan merupakan orang yang mengetahui hal tersebut.
Hal senada diungkapkan oleh Maulana Ibrahim. Dia mengatakan Sabar Anton telah salah mengutip atau mengutip secara sepotong disposisi yang dibuatnya terkait merger tiga bank menjadi Bank Century. Sabar Anton membuat kesalahan dengan menganggap rekomendasi merger itu dikeluarkan oleh Mantan-Gubernur BI kala itu, Burhanuddin Abdullah.
Penilaian serupa terjadi pada rapat-rapat pemeriksaan sebelumnya ketika menghadirkan Burhanuddin, mantan Deputi Senior BI Anwar Nasution, Miranda Goeltom, dan Aulia Pohan. Kebanyakan mengatakan tidak mengetahui secara detail seluk-beluk merger tiga bank menjadi Bank Century. Menurut mereka, direktur pengawasanlah yang paling mengetahui.
Terhadap kondisi tersebut, Gayus mengatakan perlu ada pencermatan lebih lanjut. Menurutnya, dalam tema merger ini, pengusutan terhadap kepatuhan merger akan terus dilakukan.
Perlu Klarifikasi
Terkait adanya skenario menjadikan Sabar Anton sebagai kambing hitam, Gayus menjelaskan bahwa perlu dilakukan klarifikasi ataupun konfrontasi terhadap keterangan-keterangan yang bertolak belakang atau dinilai ganjil.
“Jadi perlu dilihat, apakah dia kambing hitam atau justru dia yang mengusulkan dengan kekuatan jabatannya walaupun dibawah, dan yang diatas mengikuti. Atau dia diskenariokan untuk seperti itu,” kata Gayus.
Anggota Pansus dari Fraksi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan aneh ketika seorang petinggi BI tidak mengetahui mengenai kebijakan merger.
Agun menilai permasalahan merger tidak bisa hanya dibebankan pada Direktur Pengawasan Bank I Bank Indonesia Sabar Anton. Dengan mekanisme yang ada, kata dia, seluruh petinggi yang terlibat harus ikut bertanggung jawab terhadap persoalan ini.
Rekan satu fraksi Agun, Melchias Marcus Mekeng, menambahkan, sejak awal pemeriksaan, seluruh pejabat BI seperti melempar tanggung jawab ke Sabar Anton. “Seolah-olah SAT (Sabar Anton Tarihoran) ini buat keputusan yang begitu besar. Ini BI dijalankan dengan model seperti apa?” tegas Mekeng.
bi akui beri kelonggaran ke century
Bank Indonesia (BI) ternyata pernah memberikan kelonggaran aturan kepada Bank Century, yakni dengan memasukkan surat-surat berharga (SSB) yang macet ke kategori lancar. Hal itu dilakukan agar Century tidak perlu menyisihkan provisi (pencadangan) atas SSB yang macet itu, sehingga tidak menggerus modalnya.
Hal itu diakui mantan Direktur Pengawasan Bank I BI Rusli Simanjuntak, saat diperiksa Pansus Hak Angket Kasus Bank Century, di Jakarta, Rabu (6/1) malam. Menurutnya, pelonggaran itu sengaja dilakukan BI untuk memperbaiki rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) Century yang tercatat minus 132,5 persen pada Februari 2005.
“Hal itu merupakan praktik kelaziman dalam pengawasan, dan dalam rangka penyehatan. Untuk itu, kami memasukkannya ke dalam pengawasan intensif dan memanggil pemegang saham, supaya segera memperbaiki likuiditasnya,” ungkap Rusli.
Dia menjelaskan, dengan SSB yang dinyatakan lancar, Century tidak perlu menyediakan provisi, sehingga modalnya tidak berkurang. Dengan tidak menyiapkan provisi, CAR Bank Century menjadi positif, terutama setelah masuk dalam pengawasan intensif.
Terkait langkah itu, pemegang saham Century menyetujui arahan BI dan segera memperbaiki likuiditasnya dengan menjual SSB yang macet. “Dengan menjual SSB, Century dapat menambah modal dengan jaminan collateral cash dari bank di Swiss. Pada Mei 2005, ada pemasukan dana sebesar US$ 10 juta, dan Juni US$ 14,8 juta. Pada tahun 2007 masuk lagi Rp 442 miliar,” paparnya.
CAR Century yang awalnya minus berangsur menjadi positif di atas 8 persen. Akibatnya, pada September 2008, SSB yang jatuh tempo juga dapat dibayar Bank Century. Namun, Rusli menduga, manajemen Century memanipulasi kelonggaran yang diberikan BI dengan menjual SSB yang fiktif. Terkait kenyataan itu, dia juga mengakui bank hasil merger Bank Danpac, Bank Pikko, dan Bank CIC pada 2004 itu, bukan bank yang sehat.
skenario tertentu
Menanggapi penjelasan tersebut, Wakil Ketua Pansus Angket Century, Gayus Lumbuun curiga ada skenario tertentu dalam proses merger Bank Century, yang kemudian dijadikan saluran dana talangan (bailout) sebesar Rp6,7 triliun. “Jelas ada konspirasi. Hal ini merupakan potret lemahnya pengawasan BI,” jelasnya.
Gayus menyesalkan sikap tiga mantan pejabat BI yang diperiksa sepanjang Rabu kemarin, yakni Rusli Simanjuntak bersama dua mantan Deputi Gubernur BI, yakni Maman Sumantri dan Maulana Ibrahim, yang dinilai tidak transparan dalam menjawab pertanyaan anggota Pansus. “Para pejabat dan mantan pejabat BI terkesan saling lempar tanggung jawab,” ujarnya.
Sementara itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada Rabu (6/1) kembali menyerahkan nama-nama para penerima dana dari Century yang memiliki nama sama dengan pengurus atau anggota partai politik (parpol) serta terkait nama pejabat negara.
Dalam suratnya kepada Pansus setebal 4 halaman tersebut, terungkap inisial SKS, yang tak lain kerabat dekat Ibu Negara Ani Yudhoyono. SKS diketahui menjadi nasabah di Bank Century, sejak 2006.
Pada 26 November 2008, atau lima hari setelah Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik sesuai keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), SKS mentransfer dananya senilai Rp 115,9 juta dari Bank Century Pondok Indah Metro ke rekening bersama yang dimiliki SKS dan suaminya, HEW, di bank lain.
Lantas, pada 11 Februari 2009, SKS kembali mentransfer dananya senilai Rp356,6 juta dari Bank Century Cabang Pondok Indah Metro ke bank lain.
Selain SKS, terdapat pula aliran dana keluar dari nasabah perorangan Bank Century atas nama AOM, yang merupakan anak dari salah seorang fungsionaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). AOM diketahui mentransfer dana senilai Rp400 juta dari Bank Century Senayan pada 5 Maret 2009, ke rekening lain atas nama AEM, yang juga masih kerabat AOM.
Anggota Pansus Fraksi Partai Demokrat Achsanul Qosasih yang dikonfirmasi SP, mengakui bahwa SKS menjadi nasabah di Bank Century. “Tetapi nilainya hanya kecil. Depositonya hanya Rp 200 juta. Dari tahun 2006 ia menaruh deposito di Bank Century. Lalu kemudian ditarik, dan itu wajar,” katanya.
Sedangkan, anggota Pansus dari Fraksi Partai Hanura Akbar Faizal mengatakan, Pansus akan memanggil kembali PPATK, untuk mengecek kembali data aliran dana tersebut.
Secara terpisah, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy mengungkapkan, pihaknya segera melimpahkan berkas tersangka kasus Bank Century, Hesam al-Warraq dan Rafat Ali Rivzo ke pengadilan. Saat ini, jaksa tinggal menunggu keterangan ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), untuk menghitung jumlah kerugian negara.
Menurut Marwan, pihaknya siap mengadili Hesam dan Rafat secara in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar